Postingan

Menampilkan postingan dari 2015

ibu adalah tuhan dimata anak-anak mereka -silent hill-

tadi malam. barangkali ibu tahu jika aku hanya pura-pura tidur. tapi ibu tetap tidak melepaskan genggamannya pada tanganku. kemudian mencium tanganku, lalu keningku. jemarinya yang penuh bekas kerja keras mengusap rambut kepalaku dengan lembut. dalam mataku yang terpejam terbesit pertanyaan "mungkinkah aku tengah bermimpi?". lalu ibu menggenggam tanganku lebih erat, mencium keningku sekali lagi, mencium tanganku sekali lagi, seolah ibu ingin meyakinkanku jika ini bukan sekedar mimpi. benar,

Sisa-sisa senja

Gambar
ada yang bilang warna senja adalah hasil pengabaian siang dan malam gelap dan terang senja adalah sisa-sisa samar-samar tak menentu tapi, dari senja lahir makhluk bernama jingga ranum dan hangat seperti rasa yang diabaikan tumbuh dengan sepersekian kemungkinan sepersekian harapan hingga sekian-sekian ketidakpastian

di tepi tapi

selamat malam, tapi ini masih sore senja belum genap mengumpulkan warna gelap. baiklah, selamat sore tapi ini terlalu gelap jika kau sebut sore bayang telah sampai pada ufuknya. selamat ke tepian, selamat bergumam tentang apapun

siluet

di suatu malam aku melihat bintang berwarna hijau, terang, membawa hadir kenangan sebuah ruang yang hanya mungkin Tuhan pinjamkan lewat mimpi atau lamun betapa malam yang sejuk, pikirku tapi kemudian menjadi malam yang kacau sebab bintang tak pernah benar-benar berwarna hijau sebab kenangan adalah ingatan ada ingatan yang ingin ku buang.

intro (3)

Kusaksikan redup melempar sauh pada purnama Terang rembulan hilang di sayap malam Sekuntum suara layu ditelan gulita, Serak kehabisan usia Acap kali waktu seterlambat ini Untuk mengabarkan perihal hati Mungkin ombak mengayuh dayung menjauh dari tepi Dingin malam menjerang kesunyian yang abu, Udara yang kaku dan malam yang tak kunjung reda Jarum jam berdenting begitu pelan Setelah tahun demi tahun menahan kita dalam bisu Kerap kali waktu seterlambat ini Untuk mengabarkan perihal hati Februari, 2015

intro (2)

Di bangku tunggu kudengar derit nafas kursi yang satu-dua satu-dua Musim telah renta dan pecah dalam cahaya cahaya yang sakit, kataku tak bersinar tak pula padam redup penuh ke-tak-pastian hujan pergi setelah mencipta genangan kau pun pergi usai menikam kenangan kenangan yang mati darahnya lalu kau sebut sepi rambutmu berubah menjadi kabut suaramu kemudian sumbang serupa piano tua perlahan tubuhmu hilang direbut doa di bangku tunggu sesak memeluk punggungku