Merah Putih
Dengan suara lirih diliputi dahaga
Ditatapnya sekali lagi dirinya
Sepotong kain dua warna
Dalam deru ia melesatkan lamunan
Pada ingatan 69 tahun yang lalu,
Saat sepasang jemari menjahitnya
Menjelma sang Saka
Ribuan manusia memperjuangkannya
Menancapkannya pada sayap tertinggi
Kokoh nan suci
Pada terik ia berseru
Bersetubuh dengan debu
Bersenafas dengan kabut, dengan asap
Berselagu dengan bising dan riuh peradaban baru
Namun tak pernah bersedesah dengan basah air bah,
Walau sekali waktu, ia harus mengalah pada gagah,
Sekali waktu ia harus ikhlas berbagi setengah
tiang dengan angin
Bersetengah tiang dengan duka
Apa arti keperwiraanku untuk penjuru bangsa,
bisiknya
Sambil sesekali menyibak gerimis dengan kibarnya
Kini, segalanya seperti tak berarti
Musim sudah lama
berganti,
Dan orang-orang silih berganti
Berebut giliran menjadi yang utama
Menjadi yang paling kaya harta
Menjadi yang paling lupa
Dan melupakan darimana asalnya
Dalam sendu ia mengheningkan cipta
Menerima setiap perubahan yang terus menggerus
peradaban
Sebagian boleh pudar, namun masih ada
sepersebagian yang tetap teguh
Menjunjung tinggi pusakanya, negerinya, tumpah
darahnya
Selalu itu yang ia yakini dalam hening
Sebab ia akan terus perkasa meski usia menua
Komentar
Posting Komentar